Sabtu, 15 November 2025

Indonesian Wealth Management Market – 2025

 


Indonesian Wealth Management Market – 2025

A. Pasar Indonesia

Indonesia sedang bergerak naik kelas menjadi salah satu lokomotif utama penciptaan kekayaan di Asia, bukan sekadar pasar pinggiran. Data Indonesian Wealth Management Market Report yang diterbitkan oleh Jakarta Private Bankers Club (JPBC) menunjukkan bahwa populasi HNWI Indonesia tumbuh dari sekitar 160 ribu orang pada 2019 menjadi 186 ribu orang pada 2024, dan diperkirakan masih akan naik lagi menjadi kurang lebih 202 ribu orang pada 2026. Dalam periode yang sama, total kekayaan yang dikuasai kelompok ini meningkat dari USD 1,09 triliun menjadi USD 1,47 triliun, dengan rata-rata kekayaan per individu sekitar USD 7,29 juta. Angka-angka ini mengirim sinyal yang sangat jelas: basis nasabah kaya di Indonesia bukan hanya bertambah secara kuantitatif, tetapi juga semakin tebal secara kualitas, sehingga ruang untuk pertumbuhan bisnis wealth management masih sangat besar.

Pada level yang lebih eksklusif, segmen Ultra High Net Worth Individual (UHNWI) Indonesia juga menunjukkan tren kenaikan yang konsisten. Pada 2019, terdapat sekitar 1.267 individu dengan kekayaan di atas USD 30 juta, dan jumlah ini diperkirakan meningkat menjadi sekitar 1.700 orang pada 2026, dengan total kekayaan mendekati USD 500 miliar. Dari sudut pandang strategi, ini adalah segmen yang sangat menarik karena kebutuhan mereka jauh lebih kompleks: mulai dari struktur pajak lintas yurisdiksi, estate & succession planning, family office set-up, hingga diversifikasi global. Artinya, institusi keuangan yang mampu membangun proposisi layanan khusus UHNWI, bukan sekadar menempelkan label “priority” atau “private”, akan berada di posisi unggul untuk mengamankan wallet share kelompok ultra-kaya ini.

Jika dilihat secara struktural, laju pertumbuhan ini juga tercermin dalam indikator pertumbuhan majemuk. Populasi HNWI Indonesia meningkat 26,3% dalam periode 2019–2026 dengan CAGR sekitar 3,4% per tahun, sementara total kekayaan mereka tumbuh 35% dengan CAGR sekitar 4,4% per tahun. Hal ini berarti kekayaan tumbuh lebih cepat daripada jumlah orangnya, sehingga rata-rata “ketebalan dompet” per HNWI juga makin besar. Bagi pelaku wealth management, situasi ini mendorong pergeseran fokus dari sekadar acquisition berbasis volume ke relationship deepening berbasis nilai: bukan hanya mengejar berapa banyak nasabah kaya yang berhasil direkrut, tetapi seberapa besar proporsi kekayaan mereka yang berhasil dikelola melalui solusi investasi, proteksi, dan perencanaan keuangan yang komprehensif.

 

B. Perbankan dan Pasar Modal di Indonesia

Sektor perbankan dan pasar modal Indonesia menjadi fondasi infrastruktur yang menentukan seberapa jauh industri wealth management bisa tumbuh. Dari sisi perbankan, data menunjukkan bahwa total dana pihak ketiga (DPK) meningkat dari sekitar Rp7.932 triliun pada 2022 menjadi Rp8.536 triliun pada 2024. Artinya, likuiditas yang terhimpun di sistem perbankan terus membesar dan menjadi “bahan baku” utama yang dapat dikonversi menjadi berbagai solusi investasi, mulai dari deposito berjangka, structured product, hingga produk investasi berbasis bank lainnya. Menariknya, DPK syariah tumbuh lebih cepat, naik dari Rp619 triliun menjadi Rp755 triliun pada periode yang sama. Hal ini mengindikasikan meningkatnya minat nasabah terhadap produk keuangan berbasis nilai dan prinsip syariah. Bagi pelaku wealth management, kondisi ini membuka ruang luas untuk memperkuat lini sharia wealth management dengan produk dan advisory yang lebih tersegmentasi.

Di sisi lain, pasar modal Indonesia memberikan pilar kedua yang tak kalah penting bagi pengembangan solusi wealth management. Kapitalisasi pasar saham meningkat dari Rp9.523 triliun pada 2022 menjadi Rp12.336 triliun pada 2024, yang mencerminkan kenaikan nilai perusahaan publik dan kedalaman pasar yang kian membaik. Pada saat yang sama, nilai investasi investor perorangan di saham meningkat dari Rp1.408 triliun menjadi Rp1.728 triliun, dan investasi perorangan di obligasi serta reksa dana juga tumbuh secara konsisten. Hal ini menandakan bahwa kelas menengah atas dan HNWI semakin aktif memanfaatkan instrumen pasar modal sebagai bagian dari portofolio mereka, tidak lagi hanya bergantung pada deposito dan properti.

Dari perspektif strategi, kombinasi basis dana perbankan yang besar dan pasar modal yang terus berkembang menjadikan Indonesia sangat siap untuk melompat ke fase wealth management yang lebih sophisticated. Bank memiliki amunisi likuiditas dan basis nasabah (customer base), sementara pasar modal menyediakan spektrum instrumen untuk membangun multi-asset portfolio: kas, obligasi, saham, reksa dana, hingga instrumen alternatif. Tugas pelaku wealth management adalah menjahit keduanya menjadi value proposition yang utuh: mengonversi dana menganggur (idle funds) nasabah di bank menjadi portofolio terdiversifikasi di pasar modal, dengan tetap memperhatikan profil risiko, tujuan keuangan, serta preferensi nilai (konvensional maupun syariah). Dengan fondasi seperti ini, ruang untuk memperdalam hubungan (wallet share) dan meningkatkan kualitas advisory terhadap HNWI dan UHNWI di Indonesia masih sangat besar.

 

C. Pergeseran Komposisi Aset Orang Kaya Indonesia

Berdasarkan Indonesian Wealth Management Market Report (JPBC), terlihat bahwa pergeseran komposisi aset HNWI Indonesia merupakan perubahan struktural, bukan sekadar tren sementara. Dalam beberapa tahun terakhir, porsi aset finansial dalam kekayaan orang kaya Indonesia naik signifikan dari 32,7% pada 2020 menjadi 43,5% pada 2024, sementara aset non-finansial seperti properti dan bisnis pribadi turun dari 67,3% menjadi 56,5%. Ini berarti portofolio HNWI yang dahulu sangat “berat aset fisik” kini bergerak menuju profil yang lebih likuid, terdiversifikasi, dan market-oriented, dengan porsi yang semakin besar pada instrumen pasar modal, obligasi, dan produk reksa dana.

Jika dibedah per kelas aset, arah pergeserannya sangat konsisten. Untuk horizon 2022–2025, cash & setara kas diproyeksikan naik dari sekitar 20–25% menjadi 24–29%, mencerminkan preferensi likuiditas yang tinggi di tengah ketidakpastian. Obligasi dan pendapatan tetap naik dari kisaran 20% menjadi sekitar 27%, menunjukkan kebutuhan akan stabilitas dan pendapatan kupon yang lebih pasti. Saham (equities) meningkat dari 15–20% menjadi 19–24%, menandakan partisipasi HNWI yang semakin aktif di pasar modal. Sebaliknya, properti turun dari sekitar 35% menjadi 31%, mengindikasikan pergeseran bertahap dari aset fisik ke aset finansial. Sementara itu, reksa dana dan aset alternatif relatif stabil di kisaran 5–8%. Dari kacamata manajemen portofolio, ini adalah transisi dari portofolio “single engine” (properti dan bisnis) menuju multi-engine portfolio yang lebih tangguh terhadap siklus ekonomi.

Pergeseran ini sejalan dengan modernisasi perilaku investasi generasi kaya Indonesia. Generasi pewaris kekayaan baru jauh lebih terbuka terhadap instrumen keuangan modern dan investasi digital, didukung oleh peningkatan literasi finansial, akses yang mudah melalui platform digital, dan ekosistem wealth management yang makin matang di Indonesia. Bagi institusi keuangan, implikasinya jelas: model bisnis yang dulu bertumpu pada penyaluran kredit properti dan produk tradisional saja sudah tidak cukup. Dibutuhkan proposisi wealth management yang komprehensif, multi-asset, berbasis advisory, dan didukung platform digital, agar dapat menangkap pergeseran dompet HNWI dari aset non-finansial ke aset finansial, sekaligus mengunci hubungan jangka panjang dengan nasabah kaya yang semakin sophisticated ini.

 

D. Offshore Wealth (Kekayaan yang Ditempatkan di Luar Negeri)

Fenomena offshore wealth Indonesia merupakan isu strategis jangka panjang, bukan sekadar pilihan “parkir dana” sementara. Data JPBC menunjukkan bahwa sekitar 40% kekayaan HNWI Indonesia masih ditempatkan di luar negeri, terutama di pusat-pusat keuangan seperti Singapura. Penempatan aset ini didorong oleh beberapa faktor kunci: stabilitas hukum dan regulasi, kemudahan akses perbankan internasional, serta kebutuhan diversifikasi portofolio lintas yurisdiksi dan mata uang. Dengan kata lain, banyak HNWI melihat offshore center bukan hanya sebagai tempat yang “aman secara pajak”, tetapi sebagai ekosistem yang menawarkan infrastruktur keuangan lengkap, mulai dari global custody, akses ke produk internasional, hingga fleksibilitas manajemen kekayaan lintas negara.

Jika ditelusuri lebih jauh, pola ini cukup konsisten meskipun pemerintah telah meluncurkan beberapa program tax amnesty. Sebelum Tax Amnesty, 40–47% kekayaan HNWI Indonesia dialokasikan ke luar negeri. Pada periode Tax Amnesty 2016–2017, porsi ini sempat turun ke 30–35% karena adanya deklarasi dan repatriasi aset ke dalam negeri. Namun setelah program pertama berakhir (2018–2021), persentase tersebut kembali naik ke kisaran 38–40%, dan setelah Tax Amnesty kedua pada 2022 hingga 2023 kembali berada di sekitar 40%. Hal ini menunjukkan bahwa program-program tersebut belum mampu menurunkan secara struktural kecenderungan HNWI untuk menempatkan aset di luar negeri.

Bagi lembaga keuangan domestik, pesan strategisnya sangat jelas: jika ingin mengurangi externalization of assets ini, tidak cukup hanya mengandalkan insentif pajak. Bank dan pelaku wealth management perlu meningkatkan daya saing produk, kualitas advisory, dan kemampuan layanan lintas batas, misalnya melalui solusi onshore yang memberikan akses global, struktur investasi yang efisien dan patuh regulasi, serta layanan holistik yang membuat HNWI merasa tidak perlu lagi “keluar rumah” hanya untuk mendapatkan standar layanan kelas dunia.

 

E. Sebaran HNWI Antarprovinsi dan Pulau di Indonesia

Sebaran HNWI antarprovinsi dan pulau di Indonesia menjadi kunci untuk menyusun strategi geo-segmentasi yang tepat. Data JPBC menunjukkan bahwa pertumbuhan jumlah HNWI tidak lagi hanya terpusat di DKI Jakarta, tetapi mulai menyebar ke provinsi-provinsi penyangga seperti Jawa Barat dan Banten, serta ke Jawa Timur yang memiliki dinamika ekonomi kuat. Artinya, pusat kekayaan Indonesia bergerak dari pola “satu kutub” (Jakarta-sentris) menuju pola multi-kutub, di mana kantong-kantong kekayaan baru muncul mengikuti ekspansi sektor bisnis, industrialisasi daerah, pertumbuhan kelas menengah atas, serta peningkatan literasi finansial dan adopsi layanan wealth management di luar ibu kota.

Dilihat dari perspektif pulau, Pulau Jawa masih menjadi episentrum utama kekayaan HNWI Indonesia, dengan porsi sekitar ±72% dari total kekayaan HNWI nasional pada perkiraan 2025. Namun, kawasan lain juga mulai menunjukkan bobot yang tidak bisa diabaikan: Sumatera sekitar ±15%, Kalimantan ±5%, Sulawesi ±4%, Bali & Nusa Tenggara ±4%, serta Maluku & Papua ±2%. Pola ini menggambarkan bahwa meskipun konsentrasi kekayaan masih berat di Jawa, terdapat kantong-kantong emerging di luar Jawa yang potensial menjadi target ekspansi layanan wealth management, misalnya kota-kota besar di Sumatera, kawasan tambang dan energi di Kalimantan, serta destinasi pariwisata dan properti premium di Bali dan Nusa Tenggara.

Dari sisi strategi, gambaran sebaran ini mengirim pesan yang sangat jelas bagi pelaku wealth management. Di Jawa, khususnya lima provinsi utama, fokusnya adalah memaksimalkan volume dan pendalaman hubungan dengan HNWI yang sudah mapan. Di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Bali–Nusa Tenggara, dan Indonesia Timur, pendekatannya lebih ke “emerging market strategy”: membangun kehadiran dengan model yang scalable (kombinasi relationship manager lokal, layanan remote, dan platform digital), mengedepankan edukasi finansial, serta menawarkan solusi yang relevan dengan karakter kekayaan daerah (misalnya advisory untuk real estate, bisnis komoditas, atau pariwisata). Dengan kata lain, peta sebaran HNWI antarprovinsi dan pulau bukan hanya statistik, tetapi menjadi blueprint operasional untuk menentukan di mana harus membuka kantor, bagaimana mendesain model layanan, dan segmen mana yang harus diprioritaskan dalam 5–10 tahun ke depan.

 

F. Implikasi Strategis untuk Bisnis Wealth Management

Berdasarkan data Indonesian Wealth Management Market Report (JPBC), sebaran HNWI antarprovinsi dan pulau di Indonesia dapat dilihat sebagai “peta petunjuk lapangan” untuk mendesain bisnis wealth management berbasis data, bukan sekadar insting. Sebagai konsultan wealth management, implikasi strategis yang saya lihat antara lain:

1.   Segmentasi prioritas. Lembaga keuangan perlu memusatkan sumber daya, relationship manager (RM) terbaik, rangkaian produk paling lengkap, dan kapasitas advisory terdalam, pada lima provinsi utama yang menyumbang porsi terbesar kekayaan HNWI, karena di sinilah peluang volume dan wallet share paling besar bisa digarap.

2.  Strategi hibrida untuk pasar menengah. Untuk provinsi dengan pangsa kekayaan menengah (sekitar 0,5–2% dari total nasional), dianjurkan pendekatan hybrid regional strategy, yaitu kombinasi tatap muka langsung melalui in-person RM dengan dukungan digital wealth management. Model ini menjaga kedekatan hubungan, tetapi tetap efisien secara biaya operasional.

3.    Fokus produk di wilayah emerging. Untuk wilayah yang dikategorikan sebagai emerging market, fokuskan rangkaian produk pada kebutuhan yang sangat spesifik: wealth accumulation, real estate investment advisory, serta tax & compliance support. Di daerah-daerah yang sedang naik kelas, nasabah membutuhkan bantuan mengakselerasi pertumbuhan kekayaan, mengelola portofolio properti yang makin kompleks, sekaligus memastikan kepatuhan pajak dan struktur legalnya rapi.

4.   Model yang sangat scalable di provinsi kecil. Untuk provinsi kecil dengan porsi kekayaan relatif rendah, strategi yang disarankan adalah model yang sangat scalable: memaksimalkan RM remote, layanan omni-channel (cabang/WhatsApp/aplikasi/web), serta event edukasi finansial yang periodik. Dengan cara ini, cakupan nasional tetap luas tanpa membuat cost-to-serve melonjak.

Secara keseluruhan, kekayaan HNWI Indonesia tumbuh stabil namun masih sangat terkonsentrasi. Provinsi dengan pertumbuhan tinggi seharusnya menjadi fokus ekspansi, dan seluruh temuan ini idealnya diterjemahkan menjadi strategi nasional wealth management berbasis geo-segmentasi. Peta sebaran HNWI antarprovinsi menjadi dasar penentuan prioritas pasar, desain model layanan, hingga alokasi SDM dan teknologi dalam 5–10 tahun ke depan.

Tidak ada komentar: