Rabu, 14 Oktober 2015

Literasi Keuangan dan Pertumbuhan Ekonomi

Pada tanggal 30 Agustus 2014, dalam laporan 2015 ASEAN Business Outlook Survey, disampaikan bahwa Indonesia menempati peringkat teratas sebagai target lokasi para pengusaha AS untuk memperluas bisnisnya di kawasan ASEAN. Sebanyak 41 pengusaha asal AS mengaku jatuh hati pada pesona bisnis Indonesia. Sementara itu, Vietnam dan Malaysia masing-masing berada di posisi kedua (37 persen) dan ketiga (35 persen).

Pesona ekonomi Indonesia tersebut bukanlah merupakan hal yang baru dan terlalu mengejutkan, Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2012 merilis data pertumbuhan ekonomi Indonesia menunjukkan secara tahunan ekonomi Indonesia tumbuh 6,2% atau ketiga tertinggi di kawasan Asia, setelah China 7,8% dan Filipina 6,6%. Pendapatan per kapita di Indonesia pun naik hampir dua kali lipat dalam lima tahun terakhir menjadi US$3.562 di 2012 dari US$1.916 di 2007.

Bahkan, pada tahun 2013, walaupun terjadi perlambatan dalam laju pertumbuhan ekonomi Indonesia, sehingga pertumbuhan untuk keseluruhan tahun 2013 berada pada kisaran 5,8%. Apabila dibandingkan dengan negara-negara G-20 (Indonesia menjadi anggota kelompok G-20 sejak tahun 2008 dan pada tahun 2013 telah menduduki peringkat perekonomian terbesar ke-15), maka tingkat pertumbuhan Indonesia tersebut masih berada di urutan ke-2 setelah China dan di atas rata-rata tingkat pertumbuhan dunia yang pada tahun 2013 diprediksi sebesar 3,3%


Pertumbuhan IHSG (Indeks Harga Saham) atas transaksi di Bursa Efek Indonesia, naiknya volume Cadangan Devisa Negara dan meningkatnya jumlah Investasi Langsung Modal Asing ke Indonesia juga menunjukan pesatnya maju pertumbuhan ekonomi  Indonesia belakangan ini, khususnya setelah kondisi krisis ekonomi global tahun 1998 tempo dulu.


Namun demikian, betapa banyaknya pujian atas pesona ekonomi Indonesia dan daya tahan kuat perekonomian nya dalam menghadapi gejolak ekonomi dan keuangan global, justeru kita sebagai bangsa Indonesia harus berwaspada dan melakukan intropeksi diri “apakah pertumbuhan ekonomi Indonesia sudah benar-benar baik, dan dapat memberikan kemakmuran dan kesejahteraan ?”
Karena selain dari data dan angka-angka yang mempesona tersebut diatas, masih ada hal lain yang saat ini penting untuk kita cermati dan waspadai, yaitu masalah “Middle Income Trap” dan “Kesenjangan Pendapatan Masyarakat” serta “Tingkat Literasi Keuangan Masyarakat”

·         Middle Income Trap (Perangkap Negara Berpendapatan Menengah)
Sebelum 1990 Indonesia masuk dalam kelompok Low Income country (USD PPP 2005), Sejak 1990–sekarang: Indonesia tergolong Lower Middle Income Country.

Middle Income Trap” yaitu fenomena kondisi perekonomian suatu negara yang telah berhasil masuk dalam kelompok middle income namun kemudian mengalami stagnasi dalam jangka waktu cukup lama dan tidak berhasil naik ke kelompok high income. Kondisi ini menunjukkan posisi suatu negara berada di tengah-tengah antara kelompok produsen dengan upah murah (low wage producer) dan kelompok produsen berketrampilan tinggi dan inovatif (highly skilled-innovation producer), sehingga negara tersebut kehilangan keunggulan terkait upah murah dan tidak dapat berkompetisi dengan negara maju.

Salah satu negara yang diidentifikasi ADB berada dalam kelompok LMI adalah Indonesia, dengan melihat perkembangan tahun 2013 dimana pendapatan perkapita masih berkisar $ 5.170 (ppp harga konstan 1990), maka ADB memastikan bahwa Indonesia telah masuk dalam perangkap lower middle income (LMIT).
Selain masalah “Middle Income Trap” tersebut diatas, masalah yang ada muncul dalam “middle income class” di Indonesia” adalah ternyata mereka berprilaku  kian konsumtif. Sekitar ¾ pengeluran rumah tangga kelas menengah dialokasikan untuk konsumsi mulai darikebutuhan sehari-hari (41%), mencicil hutang (12%), berkomunikasi seperti telepon dan berinternet (9%), dan menikmati hiburan (7%). Hanya seperempat dari pendapatan ditabung (16%) dan diinvesasikan (3%).

·         Kesenjangan Pendapatan Masyarakat
Meskipun pendapatan perkapita suatu negara selalu meningkat hingga mencapai tingkatan yang lebih maju dan sejahtera, namun pendapatan perkapita dapat bias pada suatu kelompok tertentu yang lebih mampu meraih manfaat dari pertumbuhan perekonomian. Dalam hal ini, adanya ketidak-merataan produktivitas sehingga menyebabkan kesenjangan yang semakin melebar (kesenjangan antar wilayah, kesenjangan antar sektor ekonomi, dan kesenjangan pendapatan).
Keterangan    :    Pengukuran menggunakan “GINI Ratio”, apabila koefisien Gini bernilai 0 berarti pemerataan sempurna, sedangkan apabila bernilai 1 berarti ketimpangan sempurna.

Tingkat kesenjangan pendapatan penduduk di Indonesia semakin meningkat, dari 0,33 pada tahun 2004 menjadi 0,37 (2009) dan terus meningkat hingga mencapai 0,41sejak tahun 2011. Angka indeks tersebut menunjukkan bahwa porsi pendapatan terhadap PDB dari 40% penduduk berpendapatan terendah terhadap pendapatan nasional mengalami penurunan dari 20,22% (2004) menjadi 16,86% (2011), begitu pula porsi dari 40% penduduk berpendapatan menengah menurun dari 36,9% menjadi 34,7%, sedangkan 20% penduduk berpendapatan tertinggi justru mengalami peningkatan dari 42,09% menjadi 48,41%.
Hal ini menunjukkan bahwa kelompok berpendapatan tertinggi mendapatkan manfaat yang lebih besar dalam perekonomian dibandingkan kelompok berpendapatan terendah dan menengah.
Dan justeru Menurut Bambang Brodjonegoro (Wakil Menteri Keuangan); “yang mengganggu dari masalah middle income trap adalah disparitas atau kesenjangan, baik disparitas pendapatan antar kelompok masyarakat maupun disparitas antar daerah”.

·           Literasi Keuangan (Financial Literacy)
Literasi keuangan (Financial Literacy) adalah tingkat pengetahuan dasar masyarakat tentang keuangan, yaitu mencakup keterampilan dalam hal mengelola keuangannya (mendapatkan-membelanjakan, menabung, investasi dan meminjam uang). Tingkat pemahaman masyarakat akan literasi keuangan akan menjadi bekal penting dalam setiap pengambilan keputusan keuangan yang dapat meningkatkan sumber daya keuangannya, dan mendorong akses kedalam sistem keuangan.
Tingkat literasi keuangan di negara-negara maju lebih tinggi dibandingkan di negara-negara sedang berkembang, dan salah satu permasalahan yang mengemuka di Indonesia adalah kesenjangan sektor keuangan yang masih terbilang tinggi jika dibandingkan negara-negara tetangga. Kesenjangan sektor keuangan di Indonesia tidak hanya menyangkut keterjangkauan (inklusi), tetapi juga tentang pemahaman (literasi).

Berdasarkan survei indeks MasterCard, untuk seluruh negara Asia Pasifik yang disurvei, Indonesia menduduki peringkat terendah ketiga. Khusus komponen indeks investasi, posisi Indonesia terbelakang di antara seluruh negara Asia Pasifik.


Otoritas Jasa Keuangan (OJK) juga telah melakukan survei nasional mengenai tingkat Literasi Keuangan masyarakat Indonesia, Survei Nasional Literasi Keuangan dilakukan pada Semester I tahun 2013 di 20 provinsi dengan melibatkan jumlah responden sebanyak 8.000 orang. Dari Survei Nasional Literasi Keuangan yang dilakukan pada 8.000 responden, diketahui bahwa hanya 21,84% penduduk Indonesia tergolong memiliki tingkat literasi keuangan baik.

Hasil survey lainnya adalah sbb.:


Dari permasalahan yang dihadapi tersebut diatas, jelas tampak bahwa walaupun laju pertumbuhan ekonomi Indonesia belakangan ini menunjukan angka yang mempesona, tetapi jika kita mencermati permasalahan yang tengah dihadapi saat ini; (1)Middle Income Trap (Perangkap Negara Berpendapatan Menengah), dan (2) Ketidak-merataan produktivitas, serta (3)Rendahnya Tingkat Literasi Keuangan Masyarakat, maka angka-angka yang mempesona tersebut adalah merupakan hal yang semu semata.

Dengan kata lain, pertumbuhan ekonomi Indonesia saat ini masih belum kokoh (baca: rapuh) dan belum inklusif (karena karena masih ada sebagian kelompok yang belum menikmati).

Permasalahan “Middle Income Trap” dan “Ketidak-merataan produktivitas” serta “Rendahnya Tingkat Literasi Keuangan Masyarakat” adalah permasalahan kritis yang saling terkait dan harus segera diselesaikan. Keterkaitan ini dapat  dilihat sbb.:
·           Rendahnya tingkat literasi keuangan seseorang, akan menyebabkan orang tersebut cenderung berprilaku konsumtif dan boros.
·           Berdasarkan survey, middle income class Indonesia menunjukan prilaku yang semakin konsumtif dan cenderung boros.
·           Yang sangat mengganggu dalam middle income trap adalah disparitas atau kesenjangan, baik disparitas pendapatan antar kelompok masyarakat maupun disparitas antar daerah”. (Bambang Brodjonegoro)
·           Literasi keuangan di tingkat mikro menjadi fondasi ekonomi di tingkat makro. Masyarakat yang paham soal keuangan akan punya kebiasaan menabung dan investasi, serta lebih bijaksana dalam konsumsi dan berhutang, merupakan perilaku bagi struktur ekonomi yang kokoh.

Oleh karena itu, sebagai salah satu strategi untuk menciptakan “pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan sekaligus inklusif”, maka upaya pemerintah (baca: OJK) dalam meningkatkan tingkat literasi keuangan diseluruh kalangan masyarakat Indonesia adalah merupakan suatu upaya yang sangat tepat.
Upaya Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dalam meningkatkan pengetahuan, pemahaman serta penggunaan produk dan jasa keuangan oleh masyarakat menjadi sangat penting untuk meningkatkan tingkat literasi keuangan masyarakat.

Strategi Nasional Literasi Keuangan Indonesia
Menurut penilaian Deputi Gubernur Bank Indonesia, M.Hadad, perekonomian nasional tidak akan mudah tergoyahkan atau terimbas oleh berbagai krisis keuangan dunia jika masyarakat memahami sistem keuangan (Kompas, 21 Oktober 2008).
·         Banyaknya masyarakat yang tidak mengerti tentang finansial menyebabkan banyak masyarakat yang mengalami kerugian, baik akibat penurunan kondisi perekonomian dan inflasi atau karena berkembangnya sistem ekonomi yang cenderung boros karena masyarakat semakin konsumtif.
·         Masyarakat banyak yang memanfaatkan kredit rumah dan kartu kredit , tetapi karena pengetahuannya minim, tidak sedikit yang mengalami kerugian atau sering terjadi perbedaan perhitungan antara konsumen dan bank.
·         Banyak masyarakat yang tidak berinvestasi ataupun tidak bisa mengakses pasar modal dan pasar uang, karena memang tidak memiliki pengetahuan yang cukup mengenai hal tersebut.

Pada tanggal 19 November 2013 secara resmi telah diluncurkan Cetak Biru Strategi Nasional Literasi Keuangan Indonesia.
Strategi tersebut merupakan rangkaian proses atau aktivitas untuk meningkatkan : Pengetahuan (knowledge); keterampilan (skill); dan keyakinan (confidence) masyarakat luas sehingga mereka mampu mengelola keuangan pribadi dengan lebih baik.
Strategi Nasional Literasi Keuangan merupakan program strategis yang sama pentingnya dengan program-program nasional lainnya, dan merupakan program nasional yang bersifat jangka panjang yang dalam implementasinya melibatkan banyak pihak.

Melalui Literasi Keuangan diharapkan masyarakat dapat memperoleh pemahaman mengenai lembaga jasa keuangan serta produk dan jasa keuangan, termasuk fitur, manfaat dan risiko, hak dan kewajiban terkait produk dan jasa keuangan, serta memiliki keterampilan dalam menggunakan produk dan jasa keuangan. Hal dimaksud, lebih lanjut diharapkan mampu mendorong peningkatan pemanfaatan produk dan jasa keuangan yang sesuai dengan kebutuhan mereka.
Kondisi ini pada gilirannya akan memotivasi sektor jasa keuangan untuk meningkatkan edukasi dan mengembangkan produk dan jasa keuangan sesuai dengan kebutuhan berbagai lapisan masyarakat.


Literasi keuangan di tingkat mikro menjadi fondasi ekonomi di tingkat makro. Masyarakat yang paham soal keuangan akan punya kebiasaan menabung dan investasi, serta lebih bijaksana dalam konsumsi dan berhutang, merupakan perilaku bagi struktur ekonomi yang kokoh.
Melalui pelaksanaan program Strategi Nasional Literasi Keuangan secara terarah dan terukur, diharapkan masyarakat bukan hanya menjadi well literate dalam masalah keuangan, namun juga menjadi masyarakat yang mampu mengelola keuangan dengan baik yang pada akhirnya mendorong terciptanya masyarakat Indonesia yang sejahtera.

 
 
Jakarta,
Alwas Kurniadi, CWM., RFC

Tidak ada komentar: